HARUS diakui buruknya kondisi infrastruktur menjadi penyebab Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara lain.
Ketua Dewan Penasehat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Fahmi Idris, mencontohkan kondisi di Thailand yang jarak antara pusat industri dan pelabuhan ekspor-impor dua kali lebih jauh dari Tanjung Priok-Jababeka. Namun, frekuensi pengangkutan antara pusat industri dan pelabuhan di sana mencapai 4,5 rit per hari, sementara di Indonesia hanya 1,5 rit.
Kondisi infrastruktur di luar Jawa lebih parah lagi. Akibatnya, investor pun enggan menanamkan modal di daerah. Inilah yang membuat 70 persen industri manufaktur berlokasi di Jawa. "Ini adalah evergreen challenge, tidak sehat dan tidak baik," katanya, kemarin.
Ia mengatakan pemerintah hendaknya segera membangun infrastruktur karena berpengaruh besar dalam melancarkan kegiatan ekonomi. Mantan Menteri Perindustrian ini mencontohkan kasus pembangunan monorel di Jakarta.
Dia mengutip hasil penelitian yang menyebut biaya untuk membangun monorel Rp 7 triliun. Jumlah ini lebih murah ketimbang kereta bawah tanah. Di sisi lain, pemasukannya diperkirakan mencapai Rp 1,5-1,7 triliun dalam lima tahun. "Itu sanggup dibiayai, harus segera dipilih mana yang harus ditempuh," ujarnya.
Ditempat terpisah Ketua Komite Ekonomi Nasional Chairul Tanjung mengatakan perbaikan infrastruktur di Indonesia harus segera dibenahi. "Tidak bisa hanya mengandalkan pengendalian inflasi dari sisi moneter oleh Bank Indonesia, tapi inflasi dari sisi suplai dan distribusi juga harus diberesi," katanya.
Ia melanjutkan, meningkatnya ekspansi ekonomi nasional jangan sampai malah berujung pada terjadinya kemacetan ekonomi nasional, karena buruknya infrastruktur. Contohnya penjualan mobil pada tahun ini yang mencapai 760 ribu unit. Hampir sebagian besar mobil itu terjual di wilayah Jakarta. Kondisi ini akan membuat kemacetan di jalan semakin parah, karena tidak dibarengi dengan penambahan panjang jalan. "Nanti Sudirman - Kuningan bisa-bisa ditempuh dalam tiga jam," katanya.
Menurut Chairul, jangan sampai pada saat pendapatan per kapita penduduk Indonesia yang mencapai US$ 5600 - 6000, terjadi stagnasi perekonomian nasional, karena tidak dibarengi perbaikan infrastruktur. "Kalau sudah stag nanti jadi kemacetan ekonomi nasional," katanya.
Sementara itu -Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) menyatakan, perekonomian Indonesia seharusnya bisa tumbuh lebih dari 7-8 persen tahun ini dengan syarat Indonesia bisa mengatasi kekurangan di bidang infrastruktur, pendidikan, tata kelola pemerintahaan, dan penghapusan subsidi.
"Kami percaya, ekonomi Indonesia seharusnya bisa tumbuh lebih 7-8 persen. Kami sudah berhubungan dengan pemerintah Indonesia sejak bertahun-tahun yang lalu. Jadi kami tahu itu bisa," kata Ekonom ADB Muhammad Ehsan Khan
Khan menjelaskan berdasarkan laporan ADB untuk triwulan II 2010, perekonomian Indonesia tumbuh cukup menggembirakan di antara kawasan regional, yakni di atas 5,1 persen. Namun, angka ini masih dianggap masih rendah dibanding pada 1967-1997 lalu.
ADB melihat, bahwa masih banyak hal-hal yang tertinggal di Indonesia. Seperti investasi swasta yang kurang, masalah pengangguran, kemiskinan, dan ketidakmerataan ekonomi di berbagai daerah.
Menurut laporan ADB yang disampaikan Khan ini, hambatan-hambatan tersebut bisa diatasi, jika pemerintah melakukan reformasi kebijakan dalam jangka pendek dan menengah. Langkah pertama, perbaikan infrastruktur. ADB, kata Khan, menilai pembangunan infrastruktur di Indonesia masih jalan di tempat, bahkan buruk.
ADB berharap dengan dibangunnya infrastruktur yang baik, bisa membantu percepatan pertumbuhan ekonomi. Selain, kata Wakil Menteri Bappenas Lukita Dinarsyah Tuwo, bisa membuka lapangan kerja seluas-luasnya.
Langkah kedua, soal subsidi pendidikan yang dinilai masih kurang. "Kita sudah gembira dengan angka subsidi 20 persen, tapi seharusnya lebih dari itu," kata Khan.
ADB berharap Indonesia menghapus subsidi umum dan mulai mengalokasikannya pada subsidi lain yang lebih dikhususkan untuk masyarakat miskin misalnya pendidikan. Ia mencontohkan, subsidi BLT p 150.000 per bulan untuk warga miskin sudah benar. "Itu sesuai komitmen kita," kata Khan.
Lukito menjelaskan, pemerintah telah memberikan subsidi yang cukup lumayan untuk pendidikan. Tapi dia menolak usulan agar pemerintah memasukkan patokan subsidi dengan angka atau persentase di dalam undang-undang nanti. "Saya rasa, angka persen itu tidak perlu masuk dalam undang-undang," kata Lukito. (dari berbagai sumber-red
Tidak ada komentar:
Posting Komentar